Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum yang
diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.
Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda
pemberitahuan kepada konsumen.
Perangkat hukum
Indonesia
UU Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik
Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan
atau jasa;
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila
barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
§
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
§
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
§
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
§
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan
Alternatif Penyelesian Sengketa
§
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
§
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada
Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
§
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak
eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil
penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan
"hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.
Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni
atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat
lunak komputer, siaran radio dantelevisi, dan (dalam
yurisdiksi tertentu) desain
industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak
cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta
bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk
mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya
mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak
mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud
atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang
berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak
menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh
tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang
penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak
cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang
berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah
"hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"
(pasal 1 butir 1).
Perlindungan
hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan
iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Ada beberapa istilah yang sering digunakan
dalam Hak Cipta, antara lain:
·
Pencipta: adalah seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
·
Ciptaan: adalah hasil setiap karya Pencipta
yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau
sastra.
·
Hak
Cipta: hak
khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan ?
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pemegang
Hak Cipta:
adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak
tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari
pihak yang menerima hak tersebut.
·
Pengumuman: adalah pembacaan, penyiaran,
pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan
menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara
apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
·
Perbanyakan: adalah penambahan jumlah sesuatu
Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan
menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan
secara permanen atau temporer.
·
Lisensi: adalah izin yang diberikan oleh
Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan
persyaratan tertentu.
Lingkup
Hak Cipta
a.
Ciptaan yang dilindungi
Pasal 12
ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan secara
rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu:
·
buku,
program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain;
·
ceramah,
kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
·
alat
peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
·
lagu
atau musik dengan atau tanpa teks;
·
drama
atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
·
seni
rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
·
arsitektur;
·
peta;
·
seni
batik;
·
fotografi;
·
sinematografi;
·
terjemahan,
tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
b.
Ciptaan yang tidak diberi Hak Cipta
Sebagai
pengecualian terhadap ketentuan di atas, tidak diberikan Hak Cipta untuk
hal-hal berikut:
·
hasil
rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
·
peraturan
perundang-undangan;
·
pidato
kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
·
putusan
pengadilan atau penetapan hakim; atau
·
keputusan
badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Bentuk
dan Lama Perlindungan
Bentuk
perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin
Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu
perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus
berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
Namun demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan:
·
program
komputer;
·
sinematografi;
·
fotografi;
·
database;
dan
·
karya
hasil pengalihwujudan
berlaku
selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Pelanggaran
dan Sanksi
Dengan
menyebut atau mencantumkan sumbernya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Cipta atas:
·
penggunaan
Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
·
pengambilan
Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan
di dalam atau di luar Pengadilan;
·
pengambilan
Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
o
ceramah
yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
o
pertunjukan
atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta.
·
perbanyakan
suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille
guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
·
perbanyakan
suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat
apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu
pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial
semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
·
perubahan
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
·
pembuatan
salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang
dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:
·
Menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau
denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
·
Memperbanyak
penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Pendaftaran
Hak Cipta
Perlindungan
suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk
yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk
mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang
mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di
kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor
Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan
HAM (Ditjen HKI-DepkumHAM).
Sejarah hak cipta di Indonesia
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan
Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual
Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa
harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut
pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor
600 tahun 1912 dan
menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan
undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1].
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor
12 Tahun 1997,
dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang
tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam
pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah
meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia(World
Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan
tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World
Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian
Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997[2].
A.Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
1.Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang
umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
§
membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual
hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
§
mengimpor dan mengekspor ciptaan,
§
menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
(mengadaptasi ciptaan),
§
menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
§
menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada
orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan
"hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak
ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak
lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak
cipta.
Konsep tersebut juga
berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta
termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan
kepada publik, menyiarkan, merekam, dan
mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun"[2].
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di
Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta
dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitupemusik, aktor, penari, dan
sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur
pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau
disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab
VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak
melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang
tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau
perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula
mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi,
dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
2.Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui
adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan
Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter
alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern).
Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak
tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga
mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi
adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral
adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran)
yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak
terkait telah dialihkan[2].
Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan,
walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk
dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak
Cipta.
B.Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
Perolehan hak cipta
Setiap negara menerapkan
persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya
berhak mendapatkan hak cipta; diInggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor
"keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku
berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu
ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila
gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium
tertentu (seperti lukisan, partitur lagu, foto, pita video, atau surat), pemegang hak cipta
sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan
tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan
(sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan)
memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa
jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri
bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini
umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and Patents
Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang
berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara
lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak
cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program
komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat
peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, lagu atau musik dengan atau
tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam
segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, senikaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya
tradisional lainnya seperti seni songket dan
seniikat), fotografi, sinematografi,
dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri).
Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai
(misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam
dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi
sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU
19/2002 pasal 12).
Penanda hak cipta
Dalam yurisdiksi tertentu,
agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan
tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright
notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di
dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright",
yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan
tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak
ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan
lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta
tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan
tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya,
persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi
negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil
negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka
kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi
anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambang Unicode 00A9 dalam heksadesimal,
dan dapat diketikkan dalam (X)HTML sebagai ©, ©, atau ©
Jangka waktu perlindungan hak cipta
Hak cipta berlaku dalam
jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang
berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat
bergantung pada apakah ciptaan tersebutditerbitkan atau
tidak diterbitkan. Di Amerika
Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain
yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia,
jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya
ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70
tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir
tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu
perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya
ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan
atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali
disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman
nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan
hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
Penegakan hukum atas hak cipta
Penegakan hukum atas hak
cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata,
namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum
dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada
perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas
pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling
singkat satu bulan dan
paling lama tujuh tahunyang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah
paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah,
sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta
serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas
oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Perkecualian dan batasan hak cipta
Perkecualian hak cipta
dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum
tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair
dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan
perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak
Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak
melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas
dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial
termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu
pengetahuan, kegiatan penelitian dan
pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang
didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas
suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan
untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk
pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip
harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya
nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu,
seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program
komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang
dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri. misalnya Hak cipta foto umumnya dipegang fotografer,
namun foto potret seseorang
(atau beberapa orang) dilarang disebarluaskan bila bertentangan dengan
kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret. UU Hak Cipta Indonesia secara khusus mengatur hak cipta atas potret dalam
pasal 19–23.
Selain itu, Undang-undang
Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk
memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta
demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun
melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan
nilai-nilai keagamaan,
ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan
gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara,
bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang
berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)[2].
ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat
hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan
Menurut UU No.19 Tahun 2002
pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
Negara, peraturan
perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat
Pemerintah, putusan pengadilan atau
penetapan hakim,
ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya
(misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika
Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada
dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak
Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut
sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan
pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga
penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain,
dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pendaftaran hak cipta di Indonesia
Di Indonesia, pendaftaran
ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta,
dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau
terwujud dan bukan karena pendaftaran[2].
Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti
awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari
terhadap ciptaan[1].
Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI),
yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta
atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui
konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002
pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat
diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI.
"Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar
dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai
biaya.
Lisensi Hak Cipta
Lisensi adalah izin yang
diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain
untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya
dengan persyaratan tertentu.
Kritik atas konsep hak cipta
Kritikan-kritikan terhadap
hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi yang
berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkanmasyarakat serta
selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas,
dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar
sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi baru.
Keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla
Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa
ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli
berlandaskan hak cipta [3]. Produk-produk
tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang
untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang
bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft atau lisensi perangkat lunak bebas.
Asosiasi Hak Cipta di Indonesia
Asosiasi Hak Cipta di
Indonesia antara lain:
§
KCI : Karya Cipta Indonesia
§
ASIRI : Asosiasi Industri Rekaman Indonesia
§
ASPILUKI : Asosiasi Piranti Lunak Indonesia
§
APMINDO : Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia
§
ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia
§
PAPPRI : Persatuan Artis Penata Musik Rekaman
Indonesia
§
IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia
§
MPA : Motion Picture Assosiation
§
BSA : Bussiness Software Assosiation
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Nomor 1 tahun 2003 tentang Hak Cipta
Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia memutuskan bahwa : Dalam hukum Islam, Hak Cipta dipandang
sebagai salah satu huquq maliyyah (Hak Kekayaan) yang mendapatkan perlindungan
hukum (masnun) sebagaimana mal (kekayaan) Hak Cipta yang mendapatkan
perlindungan hukum Islam sebagaimana dimaksud angka 1 tersebut adalah Hak Cipta
atas ciptaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana mal, Hak
Cipta dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud alaih), baik akad mua’wadhah
(pertukaran, komersil), maupun akad tabarru’at (non komersial), serta
diwaqafkan dan diwarisi. Setiap bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta, terutama
pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya adalah HARAM.
Narasumber :
0 komentar:
Posting Komentar